26 Januari 2024 - BY Admin

Sundel Bolong : Ketimpangan Gender Dalam Karya Horor Indonesia

Yogyakarta, DP3AP2 DIY (26/01/2024) - Indonesia, sebagai negara yang diperkaya oleh beragam mitos dan kepercayaan mistis, memiliki warisan kisah hantu yang melibatkan berbagai entitas supernatural. Kisah-kisah horor hantu di Indonesia telah ada sejak puluhan tahun lamanya. Ceritanya terus dikembangkan dalam industri film yang kian laris. Dikutip dari Annisa & Adiprasetio (2022) dalam penelitiannya yang berjudul “Ketimpangan Representasi Hantu Perempuan pada Film Horor Indonesia Periode 1970-2019”, menunjukkan bahwa Indonesia telah memproduksi 559 film horor dalam periode 1970-2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 338 film atau 60,47% menampilkan perempuan sebagai hantu utama, 135 film atau 24,15% hantu utama laki-laki, dan 86 film atau 15,38% menghadirkan keduanya sebagai hantu utama. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan representasi antara hantu perempuan dan laki-laki. Fenomena dominasi ini tidak sekadar kebetulan semata, melainkan menyimpan makna mendalam.

Seiring dengan popularitasnya, karakter hantu perempuan tidak hanya menjadi bagian dari industri hiburan, tetapi juga mengandung makna mendalam yang mengakar dalam budaya dan kepercayaan mistis di Indonesia. Salah satu film yang menjadi tonggak dalam mengangkat legenda rakyat adalah “Sundel Bolong (1981)”, yang diperankan oleh ratu dan ikon horor Indonesia, Suzzanna, sebagai Alisa. Cerita ini tidak hanya menghadirkan hantu perempuan sebagai tokoh utama, tetapi juga menunjukkan kompleksitas kehidupan Alisa yang penuh dengan masa sulit bahkan setelah menikah dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pekerja seks komersial di bawah asuhan germo yang kerap dipanggil Mami.

Paras cantiknya membuat Alisa menjadi incaran Rudi, seorang pengusaha butik tempatnya bekerja. Ajakan untuk berhubungan badan dilontarkan Rudi yang tergoda oleh dorongan nalurinya. Penolakan secara halus pun menjadi jawaban Alisa. Rudi yang marah dan dendam, menyuruh anak buahnya untuk menculik Alisa dan membawanya ke suatu tempat. Kejadian naas tak dapat dapat dihindari. Alisa mengalami kekerasan seksual yang mengakibatkan trauma dan depresi secara bersamaan. Gugatan dilayangkan kepada Rudi dan germonya, tetapi persidangan belum menemui kata sepakat. Alisa justru disalahkan karena pernah bekerja di rumah germo. Situasi ini memotret fenomena victim blaming yang dapat menimbulkan ketakutan pada korban untuk melaporkan kasus yang dialaminya. 

Masyarakat patriarkal telah membentuk harapan dan ekspektasi sosial, ketika kehamilan Alisa akibat tragedi tersebut dianggap gagal dalam memenuhi konsep ‘perempuan ideal’ yang dinilai sakral dan tidak boleh dilanggar. Aborsi menjadi keputusan nekat yang diambil setelah kabar kepulangan suami terdengar. Sayangnya pendarahan hebat menyebabkan nyawanya tak tertolong. Kematian Alisa yang tak wajar membuat arwahnya bergentayangan dalam wujud Sundel Bolong. Meskipun perempuan dalam awal film diperlihatkan sebagai korban, tetapi penggambarannya sebagai karakter hantu menunjukkan sisi monster yang dianggap sebagai sumber teror.

Kebangkitan Sundel Bolong bertujuan untuk meneror orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya. Satu per satu orang telah menemui ajalnya termasuk Rudi dan Mami dengan cara yang keji dan misterius. Kematian orang-orang tersebut diawali dengan pertemuan perempuan cantik bernama Shinta yang merupakan penjelmaan dari arwah Alisa. Sundel Bolong kerap menggoda targetnya, yang mana hal ini diinterpretasikan sebagai bentuk pemberontakan atas dorongan seksualitas yang ditekan semasa hidup.

Teror dan gangguan dari Sundel Bolong seolah memberikan dimensi baru terhadap konsep perlawanan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa perempuan baru menunjukkan perlawanan setelah menjadi hantu? Transformasi perempuan mengalami perubahan dari sosok tak berdaya semasa menjadi manusia namun seketika berkuasa setelah menjadi hantu. Hantu perempuan memiliki kekuasaan sebagai hakim dan pembunuh bagi pihak-pihak yang dianggap bersalah dan berkontribusi pada nasibnya yang malang. Jawabannya barangkali,  saat menjadi manusia, perempuan mengalami ketidakberdayaan yang disumbang oleh budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai pihak paling dirugikan. Posisi tawar yang lemah membuat ketidakberdayaan itu semakin parah.

Ketidakberdayaan ini juga dimanfaatkan untuk mengeksploitasi perempuan dengan menempatkannya sebagai sumber masalah dan korban pelecehan maupun kekerasan, yang mana hal-hal tersebut membuat tokoh perempuan berubah wujud menjadi hantu dalam film horor. Sementara itu, tokoh pemuka agama yang bertugas dalam menyembuhkan maupun mengusir hantu sering kali diperankan oleh laki-laki. Dalam analisa sosial, penggambaran perempuan sebagai hantu bersamaan dengan peran pemuka agama yang mayoritas laki-laki, mencerminkan ketidaksetaraan gender dan hierarki kekuasaan dalam masyarakat patriarki. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya patriarki mengeksploitasi perempuan sebagai korban, serta menuntut patuhnya perempuan pada kekuatan agama yang dikendalikan oleh pemuka agama laki-laki. Tak hanya dalam konteks ‘penyembuhan’ dan ‘pengusiran’, dalih agama ternyata juga menjadi dasar dalam mengatur bagaimana aktivitas perempuan terutama saat malam hari dengan asumsi bahwa perempuan hanya memiliki wilayah domestik.

Perempuan sering diidentikkan dengan peran domestik yang mengharuskan mereka membatasi aktivitas di luar rumah, terutama saat malam hari, yang mana hal ini berkaitan dengan pembagian kerja dan ruang gerak. Di sisi lain, laki-laki cenderung memiliki kebebasan lebih besar dalam ruang gerak mereka. Meskipun pembagian kerja ini kadang-kadang diartikan sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan, pada kenyataannya, konstruksi budaya ini juga dapat dipahami sebagai manifestasi dari kekerasan terhadap kebebasan dan mobilitas perempuan. Dengan kata lain, norma-norma patriarki yang mengarah pada pembatasan perempuan dalam ruang dan aktivitas tertentu turut membentuk pola kekuasaan dan ketidaksetaraan gender yang dapat diidentifikasi dalam penggambaran perempuan sebagai hantu dalam film horor Indonesia.

Seiring dengan pembatasan tersebut, perempuan yang tertawa keras sering kali dihadapkan pada penolakan sosial, kultural, dan seksual karena dianggap melanggar norma kesopanan. Femininitas, dalam banyak kebudayaan, sering kali dibangun sebagai sesuatu yang dianggap mengganggu identitas dan tatanan, serta tidak taat pada batas dan aturan yang ada. Dalam hal ini, hantu perempuan seperti Sundel Bolong, dengan ciri khas berupa tawa kerasnya, dapat diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan terhadap norma-norma patriarki yang membatasi ekspresi dan kebebasan perempuan. Hal ini dianggap sebagai bentuk antitesis dalam budaya patriarki. Melalui perilaku seperti ini, hantu perempuan tidak hanya berfungsi sebagai elemen horor dalam film, melainkan juga sebagai simbol dari pertentangan terhadap kontrol sosial yang melekat pada perempuan.

Menggali lebih dalam cerita Sundel Bolong, terlihat bahwa tindakan balas dendam yang dilakukan oleh hantu perempuan merupakan langkah yang diambil dalam mewujudkan kebebasan dan kekuatan yang dibatasi selama hidup. Melalui sudut pandang ini, cerita tersebut menjadi bukan hanya kisah horor semata, melainkan juga sebuah cerminan dari kompleksitas ketidaksetaraan gender dan ketidakadilan yang dialami perempuan. Pemunculan sosok hantu sebagai saksi bisu dalam kehidupan setelah mati memperkuat naratif ini, memberikan ruang untuk refleksi mengenai perlawanan terhadap ketidaksetaraan gender, bahkan setelah seseorang meninggal dunia.

Dengan kehadiran Sundel Bolong sebagai salah satu hantu perempuan yang sangat populer dan melekat dalam memori masyarakat Indonesia, terbuka lebar pintu untuk menggali makna di balik karakter ini. Sering kali dianggap sebagai simbol antagonis dengan sifat pemarah dan penuh dendam, Sundel Bolong sebenarnya merupakan representasi kehidupan perempuan yang kritis dan pantang menyerah dengan kemampuan episodik yang kuat. Meskipun wujud fisiknya diidentikkan dengan gambaran yang menjijikkan, seperti rambut hitam berantakan, pakaian putih, bibir gelap, mata agak putih, dan bulu mata tebal, serta memiliki lubang menganga pada punggungnya, hal ini justru menciptakan gambaran perempuan yang jauh dari standar kecantikan konvensional.

Standar kecantikan dapat menjatuhkan perempuan dalam jurang menyakitkan, seperti dalam film Sundel Bolong (1981) yang menampilkan kecantikan tokoh Alisa sebagai salah satu faktor penyebab hancurnya kehidupan semasa hidup. Alisa dalam wujud Sundel Bolong dengan tampilan fisik yang tidak normal menjadikannya sebagai simbol kekuatan yang tidak terkotak-kotak oleh norma-norma kecantikan yang sempit. Kisah Sundel Bolong juga merepresentasikan tingginya risiko kekerasan seksual yang menimpa perempuan.

Menggali lebih dalam, perlu dipertimbangkan apakah representasi hantu perempuan di layar hanya menjadi cerminan dari penegasan kembali kerentanan perempuan? Adakah kemungkinan untuk mendekonstruksi citra hantu perempuan dan menyusunnya kembali sehingga memberikan gambaran yang lebih "manusiawi"? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa melihat representasi hantu perempuan sebagai potensi untuk meresapi keberagaman dan kompleksitas kehidupan perempuan.

Alam pikir patriarkis dan misoginis sudah meresap dalam masyarakat. Salah satu cara untuk mengurangi praktiknya adalah dengan menyeimbangkan jumlah sutradara perempuan yang terjun ke dalam produksi film horor di Indonesia. Akan tetapi, solusi ini dinilai belum cukup karena pada periode pasca 2010, film-film yang disutradarai oleh perempuan tidak dapat benar-benar lepas dari kungkungan budaya patriarki dan misogini. Oleh karena itu, dibutuhkan lebih banyak pemikiran perempuan yang lebih progresif untuk mengubah tatanan wacana kisah horor di Indonesia.

Upaya mengurangi praktik patriarkis dan misoginis juga dapat diwujudkan melalui usaha pembuatan tafsir ulang terhadap mitos-mitos hantu perempuan. Di mana hal ini seharusnya menjadi inisiatif para sineas film sebagai peran sentral dalam mengubah dan meredefinisi citra serta naratif hantu perempuan di layar kaca. Ahli atau pakar serta masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam merangkul perspektif yang lebih inklusif dengan menolak stereotip gender yang merugikan perempuan. Penelitian akademis yang mendalam, film-film horor yang berinovasi, dan dialog sosial yang terbuka dapat menjadi alat untuk menggeser pandangan masyarakat terhadap mitos-mitos negatif hantu perempuan.

Selama ini, mitos-mitos negatif telah menempatkan perempuan sebagai objek jahat atau pemberontak tanpa alasan yang jelas. Dalam hal ini, sineas dapat melakukan tafsir ulang dengan menceritakan kembali karakter hantu perempuan secara lebih manusiawi dan memberikan pengertian dengan membawa penonton untuk lebih memahami alasan dan perasaan di balik penampakan mereka. Kisah Sundel Bolong, sebagai contoh, telah menggambarkan bahwa upaya keadilan yang dilakukan oleh hantu perempuan sebenarnya merupakan manifestasi dari ketakutan laki-laki atas tindakan mereka sendiri, sehingga hantu perempuan sudah seharusnya tidak lagi ditempatkan sebagai kambing hitam yang terus disalahkan.

Pencitraan perempuan dalam film oleh sineas memiliki dampak besar dalam memperkuat posisi perempuan di masyarakat melalui pembentukan naratif dan karakter yang secara tak langsung turut membentuk citra dan harapan terhadap perempuan, sehingga film dapat menjadi sarana dalam meruntuhkan stereotip dan norma patriarki yang membatasi peran perempuan. Pencitraan melalui film juga berpotensi membuka wawasan masyarakat terhadap isu-isu yang dihadapi perempuan, termasuk ketidaksetaraan gender, kekerasan, dan ketidakadilan. Dengan menjelajahi berbagai dimensi kehidupan perempuan melalui cerita yang otentik, sineas dapat berkontribusi dalam menciptakan perubahan positif pada representasi perempuan dan menggugah kesadaran akan konsekuensi tindakan laki-laki, yang mana kisah horor ini akan terus menjadi salah satu warisan Indonesia yang tak lekang oleh zaman. (novi)

Silakan Pilih CS

Pengaduan P2TPAKK
Telekonseling Tesaga
Layanan SAPA 129
Satgas PPA DIY
Tutup
Ada yang bisa kami bantu?