23 Mei 2025 - BY Admin

Saatnya Bicara: Mengapa Kita Harus Peduli pada Kesehatan Reproduksi Remaja dan Cegah Pernikahan Dini

Yogyakarta, DP3AP2 DIY (23/05/25) - Bayangkan seorang anak perempuan yang baru berusia 15 tahun, duduk di bangku SMP, tiba-tiba harus melepas seragam sekolahnya untuk mengenakan gaun pengantin. Ia belum sempat memahami tubuhnya, belum selesai menikmati masa remaja, tapi sudah harus menjadi istri, bahkan mungkin ibu. Ini bukan skenario fiksi. Ini nyata. Dan lebih sering terjadi dari yang kita sadari.


Di Indonesia, pernikahan usia dini masih menjadi persoalan besar. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan bahwa 1 dari 9 perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Yogyakarta, yang selama ini dikenal sebagai kota pelajar, juga tidak lepas dari fenomena ini. Tahun 2022 saja, tercatat 623 kasus permohonan dispensasi nikah bagi anak di bawah umur 19 tahun. Ini bukan sekadar angka, ini adalah alarm.


Mengapa Pernikahan Dini Begitu Berisiko?
Pernikahan dini membawa konsekuensi yang luas dan berat. Dari sisi kesehatan, anak perempuan yang menikah dan hamil di usia muda berisiko mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, bahkan kematian. Dari sisi psikologis, banyak yang mengalami tekanan emosional, depresi, hingga kehilangan arah hidup. Secara sosial dan ekonomi, pernikahan dini seringkali memutus akses pendidikan dan memperpanjang lingkaran kemiskinan.
Lebih dari itu, pernikahan dini adalah pelanggaran hak anak. Anak-anak seharusnya dilindungi, bukan dinikahkan. Mereka berhak tumbuh, belajar, bermain, dan bermimpi bukan memikul beban rumah tangga yang tidak mereka pahami sepenuhnya.


Kesehatan Reproduksi: Pengetahuan yang Sering Dianggap Tabu
Salah satu akar masalah dari tingginya pernikahan dini adalah minimnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Banyak yang tidak tahu bagaimana tubuh mereka bekerja, bagaimana menjaga diri dari kehamilan yang tidak direncanakan, atau bahkan sekadar memahami bahwa mereka berhak mengatakan "tidak". Ironisnya, pendidikan kesehatan reproduksi sering dianggap tabu, sehingga pembahasannya cenderung dihindari baik di sekolah maupun di rumah.


Padahal, kesehatan reproduksi bukan bicara tentang seks saja, tetapi juga tentang pemahaman diri, pengambilan keputusan yang sehat, dan perlindungan masa depan. Remaja yang memahami tubuhnya akan lebih mampu menjaga dirinya dari risiko baik secara fisik maupun sosial.
Di Mana Peran Kita Sebagai Stakeholder?


Tugas mengedukasi dan melindungi remaja bukan hanya tanggung jawab guru atau petugas kesehatan. Ini adalah tugas kolektif kita semua: orang tua, tokoh agama, pemuka adat, pemerintah daerah, media, dan tentu saja, remaja itu sendiri.


Program seperti PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) yang kini mulai digalakkan di sekolah-sekolah adalah salah satu bentuk upaya konkrit yang patut diapresiasi. Di SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta, misalnya, hadirnya program PRO HANDINI (Program Pencegahan Pernikahan Usia Dini) terbukti meningkatkan pemahaman siswa tentang kesehatan reproduksi dan dampak pernikahan dini. Mereka tidak hanya jadi penerima informasi, tapi juga menjadi edukator bagi teman sebayanya.


Keterlibatan lintas profesi dari mahasiswa kebidanan, psikologi, hingga ilmu komunikasi—menjadi kekuatan baru dalam menyampaikan pesan secara kreatif dan menyentuh. Inilah contoh nyata bahwa kolaborasi lintas sektor bisa menjadi motor perubahan sosial yang efektif.


Bicara Bukan Tabu. Bicara Itu Perlu.
Kita perlu menciptakan ruang-ruang aman di mana remaja bisa bertanya tanpa takut dihakimi, dan mendapatkan jawaban dari sumber yang terpercaya. Edukasi seksual bukan mengajarkan remaja untuk melakukan hubungan seksual, tapi mengajarkan mereka untuk bisa berkata “tidak”, memahami konsekuensi dari setiap pilihan, dan menghargai tubuh mereka sendiri.


Ayo, Kita Bergerak Bersama
Mengubah budaya dan cara pandang tidak bisa instan. Tapi setiap langkah kecil akan membawa dampak besar. Ajarkan anak-anak kita bahwa:
•    Menikah itu pilihan, bukan paksaan.
•    Tubuhmu, masa depanmu adalah hakmu.
•    Pendidikan dan impian itu tak boleh dikorbankan.


Mari kita jadi bagian dari solusi, bukan hanya penonton. Jadikan isu ini pembicaraan penting di meja makan, di ruang kelas, di forum RT, hingga di media sosial. Karena ketika satu anak terhindar dari pernikahan dini, satu masa depan bangsa terselamatkan.
“Kenali tubuhmu. Lindungi masa depanmu. Suara kita hari ini menentukan nasib mereka esok hari.”


Disampaikan oleh: Endang Koni Suryaningsih, S.ST., MSc.N-M., Ph.D
Pada acara Advokasi Stakeholder dalam pencegahan pernikahan dini
Pada hari Jum’at tanggal 16 Mei 2025 melalui Zoom Meeting




Silakan Pilih CS

Pengaduan P2TPAKK
Telekonseling Tesaga
Layanan SAPA 129
Satgas PPA DIY
Tutup
Ada yang bisa kami bantu?