Yogyakarta, DP3AP2 DIY (17/02/2023) – Angka pernikahan usia anak di Indonesia pada umumnya meningkat dari tahun ke tahun. DIY juga merupakan salah satu daerah dengan angka pernikahan usia anak yang cukup tinggi. Sepanjang waktu 2021, Pengadilan Agama Yogyakarta mencatat sebanyak 757 dispensasi perkawinan dan pada 2022 tercatat sebanyak 597 dispensasi perkawinan.
Banyak faktor yang disinyalir menjadi penyebab terjadinya pernikahan usia anak, diantaranya faktor ekonomi, saat masih ada anggapan bahwa menikahkan anak menjadi solusi untuk melepaskan diri dari kemiskinan; konstruksi sosial budaya yang berkembang di masyarakat, seperti munculnya anggapan bahwa jika perempuan pada usia tertentu belum menikah dianggap sebagai perawan tua, sehingga anak perempuan dinikahkan sejak dini untuk menghindari anggapan tersebut; kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) akibat pergaulan bebas dan seks pra nikah. Faktor lain adalah kurangnya pemahaman di bidang kesehatan, kurangnya pemahaman mengenai peraturan pemerintah dan pengaruh pemanfaatan teknologi informasi. Penggunaan internet dan sosial media yang tidak sehat memiliki andil dalam peningkatan pergaulan bebas di kalangan remaja, termasuk kekerasan dalam pacaran yang dikemas dalam bentuk toxic relationship.
Saat ini pernikahan usia anak masih dianggap sebagai hal yang biasa di masyarakat, bahkan dianggap sebagai alternatif penyelesaian masalah. Namun faktanya, pernikahan usia anak menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pernikahan usia anak akan menimbulkan berbagai dampak, diantaranya masalah kesehatan fisik, mental, ekonomi, dan sosial.
Pernikahan usia anak meningkatkan risiko kematian maternal dan neonatal. Studi yang dilakukan oleh Adedokun et al (2016) mengungkapkan bahwa lebih dari 70 persen pernikahan dini pernah mengalami komplikasi sebelum dan sesudah melahirkan. Dikutip dari laman https://genbest.id/articles, perkawinan usia anak dapat meningkatkan risiko terhadap kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya karena organ reproduksi yang belum matang serta ketidaksiapan secara fisik dan mental. Faktanya sebesar 43,5 persen kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun dengan usia ibu 14-15 tahun, sedangkan 22,4 persen dengan rentang usia 16-17 tahun.
Pada umumnya pernikahan usia anak tidak diimbangi dengan kesiapan mental dan emosional. Belum adanya kematangan dalam hal kemampuan menyelesaikan konflik serta pemikiran masa depan yang belum matang dapat menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga hingga meningkatkan risiko perceraian.
Selain itu, pernikahan usia anak juga rentan melahirkan keluarga miskin baru, dikarenakan rendahnya pendiikan yang menyebabkan sulitnya mengakses pekerjaan yang layak. Ketidaksiapan fisik, ekonomi, serta ketidaksiapan mental emosional dalam pernikahan dan pengasuhan anak akan memberikan dampak pada kualitas rumah tangganya. Sehingga bisa dikatakan bahwa fenomena pernikahan usia anak akan berdampak pada kehidupan keluarga dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Hal ini menjadikan fenomena pernikahan usia anak menjadi salah satu faktor utama penyebab lemahnya ketahanan keluarga yang berdampak pada kualitas hidup masyarakat. Peran pemerintah dalam hal ini adalah memberikan pemahaman dan memfasilitasi masyarakat dalam upaya pencegahan pernikahan usia anak melalui berbagai macam program, diantaranya sosialisai pendewasaan usia perkawinan, edukasi pra nikah, menyediakan layanan konseling dan pendidikan kesehatan reproduksi, penegakan peraturan / kebijakan pemerintah.
Upaya yang dilakukan pemerintah hendaknya juga mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat untuk mewujudkan ketahanan keluarga yang kuat di Daerah Istimewa Yogyakarta dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik. (*)-d
Sumber : KR