Yogyakarta, DP3AP2 DIY (06/01/25) - Di dalam masyarakat kita, perempuan memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk dijadikan target pengguna alat kontrasepsi, tanpa mengindahkan risiko dan efek domino yang dapat menimpa mereka kapan saja. Ketika membicarakan kontrasepsi, yang langsung terlintas di benak sebagian besar dari kita adalah suntik KB maupun pil kontrasepsi oral atau, yang populer disebut, pil KB. Kedua alat kontrasepsi tersebut diaplikasikan maupun dikonsumsi oleh perempuan yang telah aktif secara seksual guna mencegah kehamilan. Alat-alat kontrasepsi lainnya, seperti KB implan atau KB susuk, intra-uterine device atau KB spiral, kondom wanita, diafragma, spermisida, hingga tubektomi atau KB permanen (Tim Medis Soliam Hospitals, 2024) ditujukan penggunaannya bagi perempuan. Produk kontrasepsi perempuan yang beredar di masyarakat sangat beragam. Berbanding terbalik dengan eksistensi kontrasepsi bagi laki-laki yang jenisnya bisa dihitung jari. Hingga saat ini, hanya kondom pria dan vasektomi-lah alat kontrasepsi yang penggunaannya dikhususkan bagi laki-laki. Dengan demikian, secara tidak langsung, kontrasepsi sering diasosiasikan penggunaannya hanya dan lumrah bagi perempuan.
Anggapan bahwa laki-laki yang menggunakan alat kontrasepsi adalah anomali telah melekat dan mengakar kuat dalam masyarakat. Budaya, konstruksi sosial, agama, hingga kondisi politik mewarnai latar belakang adanya anggapan tersebut. Narasi turun-temurun di masyarakat yang melabeli laki-laki bervasektomi sebagai laki-laki “gagal” dan “takut istri” sudah akrab terdengar di telinga kita. Selain itu, tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa laki-laki yang melakukan vasektomi lebih mudah terjangkit penyakit kronis. Berita-berita burung seperti itulah yang membuat banyak laki-laki enggan untuk berkontribusi dalam mencegah kehamilan pasangannya melalui kontrasepsi.
Mayoritas masyarakat masih belum terekspos dengan penelitian yang membuktikan bahwa alat kontrasepsi bagi perempuan memiliki risiko kesehatan yang lebih berbahaya dibandingkan alat kontrasepsi bagi laki-laki. Stewart et al. (2024) menyatakan dalam artikel jurnal bahwa sebagian besar responden perempuan dalam penelitian tersebut, mengaku telah mengalami beragam efek samping penggunaan alat kontrasepsi, di antaranya menyerang (a) kesehatan mental, termasuk masalah suasana hati, depresi, kecemasan, dan perasaan ingin bunuh diri; (b) pendarahan menstruasi, termasuk pendarahan/bercak terus-menerus, tidak teratur, pendarahan yang menyakitkan atau berat; serta (c) sakit kepala/migrain parah beberapa kali seminggu yang berlangsung berjam-jam. Pada tahun sebelumnya, Mukanga et al. (2023) juga melakukan penelitian dengan responden yang menyatakan bahwa efek samping kontrasepsi bagi perempuan telah menimbulkan nyeri, sakit kepala, penambahan berat badan, dan pendarahan berkepanjangan. Beberapa perempuan lainnya juga menceritakan efek samping, seperti kram, pusing, dan sakit kepala. Para responden tersebut menuturkan bahwa efek samping yang ditimbulkan kontrasepsi memengaruhi kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas domestik sehari-hari di rumah, seperti memasak dan mengasuh anak-anak. Selain itu, seorang perempuan lain yang menggunakan KB implan menyatakan bahwa ia bisa jatuh sakit sepanjang hari dan harus beristirahat setiap kali rasa sakit mulai menyerang.
Dampak negatif yang ditimbulkan kontrasepsi bagi perempuan memang sangat nyata dan serius. Tak hanya menanggung sakit fisik dan mental dengan beragam risiko penyakit, perempuan pengguna kontrasepsi juga memikul efek domino apabila tidak dapat beraktivitas dan “mengurus” rumah tangga. Banyak dari mereka yang memiliki pasangan acuh tak acuh dengan kondisi yang menimpa. Bahkan, tetap memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan domestik. Apabila tidak dikerjakan, perempuan jugalah yang menjadi target kekerasan karena dianggap pemalas dan tidak patuh kepada laki-laki. Di lingkup publik yang lebih luas, penggunaan kontrasepsi oleh perempuan membuatnya tidak produktif dalam bekerja apabila pendarahan dan sakit kepala menimpa sewaktu-waktu. Padahal, semua tempat kerja pasti menggunakan tolok ukur produktivitas kerja dalam menilai karyawannya. Tidak optimalnya kerja yang dihasilkan oleh perempuan-perempuan tersebut membuatnya kesulitan dalam mengejar jenjang karir yang lebih baik, diremehkan di tempat kerja, atau bahkan rawan terkena pemecatan.
Kompleksitas beban yang perempuan tanggung akibat alat kontrasepsi membuat masyarakat harus pelan-pelan menengok dan memberi sorotan kepada alat kontrasepsi pria, yakni kondom pria dan vasektomi. Kontrasepsi pria dianggap lebih efektif dalam mencegah kehamilan dan lebih tidak berbahaya bagi tubuh, meskipun efek samping dapat ditentukan karena beragam faktor internal maupun eksternal tubuh masing-masing. Metode kontrasepsi wanita memiliki efek samping yang lebih serius daripada metode kontrasepsi pria, sebagian karena berbagai metode kontrasepsi untuk wanita melibatkan hormon, sedangkan tidak ada metode kontrasepsi untuk pria yang melibatkan hormon. Sementara itu, dua bentuk kontrasepsi pria yang tersedia, yakni kondom dan vasektomi, memiliki risiko kesehatan yang lebih sedikit daripada metode kontrasepsi wanita yang ada (Hatcher, 2004 dalam Campo-Engelstein, 2012). Efek samping serius dari kontrasepsi pria lebih sedikit daripada yang dilaporkan dalam uji coba untuk kontrasepsi wanita kontemporer. Dibandingkan dengan pria, wanita melaporkan mengalami frekuensi sakit kepala, nyeri panggul, dan penambahan berat badan yang lebih tinggi sementara pria melaporkan mengalami frekuensi jerawat dan perubahan suasana hati yang lebih tinggi (Abbe & Roxby, 2020).
Efektivitas yang lebih tinggi dengan efek samping yang lebih rendah dapat menjadi dua alasan utama bagi masyarakat untuk menormalisasi penggunaan alat kontrasepsi pria. Pelan tapi pasti, normalisasi tersebut juga akan mendorong masyarakat untuk menyeimbangkan beban dan tanggung jawab atas pengendalian kehamilan kepada perempuan dan laki-laki secara seimbang. Bahwa laki-laki dalam suatu pasangan memutuskan untuk melakukan vasektomi tidak akan menjadi anomali lagi. Pada akhirnya, konstruksi sosial masyarakat akan dipahat untuk lebih inklusif dan tidak melulu memandang perempuan sebagai “mesin produksi” bayi serta dipoles supaya memandang wajar laki-laki yang membantu pasangannya dalam merencanakan lahirnya buah hati. (Dhiva)