Yogyakarta, DP3AP2 DIY (11/03/2022) - Menurut UU Sindiknas No. 20 tahun 2003, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan. Pengertian tersebut memberikan gambaran betapa pendidikan harus berorientasi pada pengembangan potensi anak dengan menyediakan suasana belajar yang ideal.
Pengertian di atas berdampak secara teknis kepada banyak hal. Salah satunya adalah kerjasama pihak-pihak yang berada di sekitaran si anak khususnya guru dan orang tua. Dua pihak ini memiliki peran penting dalam mendukung pengembangan potensi diri anak. Guru memiliki tugas mendampingi anak pada sewaktu bersekolah, dan setelahnya orang tua yang juga harus terlibat mendidik dan mengawasi anak tersebut saat di luar sekolah. Dengan demikian, guru dan orang tua harus memiliki kesepahaman agar anak tidak kebingungan dalam menerima nilai dan praktik pendidikan dari mereka.
Apa saja kesepahaman yang dibutuhkan?
1. Masing-masing anak memiliki keunikan
Guru dan orang tua harus meyakini bahwa setiap anak memiliki potensi istimewa positif yang dianugerahkan Tuhan. Karena itu, tidak boleh ada kategori anak "bodoh" atau "nakal". Setiap anak memiliki kecerdasan yang sangat unik dan bervariasi. Albert mengatakan dalam Einstein pernah mengatakan kutipannya yang terkenal yakni "setiap anak adalah jenius. Tapi, kalau kalian menilai ikan dari caranya memanjat pohon, maka dia akan bidangnya merasa bodoh seumur hidupnya".
Keahlian ikan berdasarkan habitat alamiahnya adalah menyelam dan hidup di air. Sementara, memanjat adalah keahlian orangutan, bekantan atau kera. Tidak bisa dibalik-balik atau dipaksakan. Ini hanyalah ilustrasi bahwa semua potensi itu harus hidup dan diarahkan dalam koridor pendidikan yang sesuai. Guru di sekolah dan orang tua di luar sekolah harus bisa memilih kata-kata yang membuat anak mengerti potensi dirinya dan termotivasi mengembangkannya, dan bukan malah memojokkan anak didik.
2. Semua Profesi memiliki Kontribusi
Umumnya orang tua memiliki sosok profesi yang direncanakan diikuti oleh anaknya, seperti Habible (ilmuwan), Rudi Hartono (atlet), Emha Ainun Najib (budayawan), dan Dahlan Iskan (pengusaha dan jurnalis) karena mereka merupakan representasi orang-orang yang hebat di bidangnya.
Namun pada kenyataannya, anak memiliki referensi profesi berbeda atas hal yang ingin dicapainya. Sebagai contoh, anak ingin menjadi youtuber atau Tik toker profesional. Disinilah kemungkinan terjadi ketegangan antara orang tua dan anak yang masing-masing memiliki keinginan dan referensi yang berbeda.
Guru sebagai "orang tua" anak di sekolah selayaknya juga memahami keinginan anak-anak didiknya dan bagaimana respon orang tua mereka masing-masing. Guru hendaknya bisa masuk sebagai sahabat bagi anak dan teman diskusi bagi orang tua mereka. Harapannya, anak akan merasa dipahami apa yang ia inginkan. Jikapun anak harus mengikuti keinginan orang tua, maka orang tua dan guru harus mampu menyediakan alasan yang diterima dan dimengerti oleh anak.
Ada beberapa hal kesepahaman lainnya. Namun, setidaknya, dari dua kesepahaman di atas, orang tua dan guru akan bisa mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang mendukung bagi perkembangan anak. Terlebih, kemudahan teknologi komunikasi sekarang ini juga mendukung terjalinnya komunikasi orang tua dan guru.
Oleh: Nuzul Andi Asworo. S.Pd. (Guru SMK Negeri 2 Yogyakarta)
Sumber : tribun jogja