Yogyakarta, DP3AP2 DIY (14/08/25) - Kamis, 14 Agustus 2025 Pengadilan Tinggi Agama DIY Bersama DP3AP2 DIY menyelenggarakan acara “Focus Group Discussion Perlindungan Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian”, bertempat di Hotel Arjuna Yogyakarta. Acara dihadiri oleh Ketua PTA DIY, Drs.H. Achmad Hanifah, M.HES.; Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati Sumardi, S.IP.,M.M.; Wakil Ketua PTA DIY, Drs. H.M. Yusuf, AH, M.H.; dan Panitera, Dra.Nur Laela, M.H.
Dalam FGD ini, Kepala Dinas P3AP2 DIY diberikan kesempatan sebagai narasumber untuk menyampaikan paparannya terkait problematikan pernikahan dini, perceraian dan dampak-dampaknya baik bagi penyintas maupun bagi anak-anak. “Peran yang dilakukan oleh DP3AP2 DIY serta hal-hal yang diharapkan terkait urgensi data dari PTA adalah untuk menentukan prioritas program, merancang KIE berbasis bukti dan koordinasi lintas sektor”, ujar Kepala Dinas P3AP2 DIY.
Peningkatan jumlah perkara perceraian di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak selalu mencerminkan krisis rumah tangga. Hal ini disampaikan Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Yogyakarta dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema “Tingginya Angka Perceraian di DIY”.
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang memengaruhi kenaikan angka perkara perceraian di pengadilan, di antaranya meningkatnya kesadaran hukum masyarakat untuk menyelesaikan masalah rumah tangga secara resmi, kemudahan akses layanan peradilan melalui sistem e-court dan e-litigasi, serta pencatatan administrasi yang kini lebih tertib dan akurat.
“Kita perlu berhati-hati menafsirkan istilah ‘tinggi’ pada angka perceraian. Jangan sampai data menjadi stigma yang menambah beban psikologis pasangan atau keluarga yang tengah menghadapi masalah,” ujar Ketua PTA Yogyakarta.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa setiap perceraian memiliki konsekuensi serius, terutama bagi perempuan dan anak yang rentan terdampak secara emosional, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, Pengadilan Agama tidak hanya berperan memutus perkara, tetapi juga memastikan terpenuhinya hak-hak pihak yang terdampak, sesuai dengan berbagai regulasi seperti Perma No. 3 Tahun 2017, sejumlah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait perlindungan hak pasca perceraian, UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, UU Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam.
Ia juga mengakui bahwa pelaksanaan perlindungan hukum di lapangan masih menghadapi tantangan, mulai dari gugatan yang tidak mencantumkan nafkah anak, kesulitan eksekusi putusan, hingga keterbatasan ekonomi pihak yang wajib membayar nafkah.
“Melindungi anak dan perempuan pasca perceraian bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga amanat moral dan kemanusiaan,” tegasnya.
Ketua PTA Yogyakarta mendorong langkah pencegahan perceraian melalui pendidikan pra-nikah, penguatan ekonomi keluarga, dan peningkatan literasi hukum. Ia berharap FGD ini menjadi sarana untuk menyelaraskan data, memperkuat kebijakan perlindungan, serta merumuskan sinergi lintas sektor agar setiap anak dan perempuan yang terdampak perceraian di DIY mendapat perlindungan optimal.