Child grooming mengintai anak-anak yang sedang berada dalam masa perkembangan. Pada tahap ini, anak masih membutuhkan bimbingan orang dewasa, terutama orang tua, untuk mengambil keputusan. Karena itu, pengakuan “suka sama suka” atau consent dari anak tidak bisa dianggap sah dalam kasus kekerasan seksual. Kerentanan anak dan remaja inilah yang sering dimanfaatkan predator untuk masuk dan memanipulasi mereka. Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah child grooming.
Apa itu Child Grooming?
Child grooming adalah suatu proses manipulasi yang dilakukan pelaku dengan menjalin hubungan emosional dengan anak di bawah umur untuk dimanfaatkan dan dieksploitasi demi kepentingannya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Pelaku child grooming biasanya adalah orang dewasa baik yang sudah dikenal baik oleh korban maupun orang asing.
Pelaku akan mendekati anak yang terlihat memiliki “kekosongan” dalam hidupnya, misalnya kurang perhatian dari orang tua, masalah pertemanan, atau kesulitan sosial. Kekosongan inilah yang kemudian diisi oleh pelaku dengan memberikan perhatian, dukungan, bahkan hadiah kecil agar anak merasa diperhatikan dan istimewa.
Awalnya, bentuknya sederhana: menanyakan kabar, memberikan perhatian kecil seperti, “Kamu udah makan?”, atau “Pulang sekolah pasti capek ya.” Dari situ, pelaku perlahan meningkatkan intensitas hubungan, hingga mulai berani melakukan sentuhan dengan dalih kasih sayang. Lama-kelamaan, anak akan bergantung pada pelaku dan sulit melepaskan diri.
Bentuk Eksploitasi
Ketika anak sudah terjerat, pelaku dapat mengeksploitasi mereka secara seksual maupun materi. Eksploitasi ini bisa berupa pembiasaan sentuhan tidak pantas, permintaan perilaku seksual, hingga pemerasan. Anak yang sudah percaya dan bergantung biasanya sulit menolak karena merasa “terikat” dengan pelaku. Pelaku juga akan membatasi korban untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya sehingga ia lebih leluasa untuk menguasai korban.
Grooming di Dunia Digital
Seiring berkembangnya teknologi, child grooming juga marak terjadi secara daring. Media sosial menjadi pintu masuk utama. Anak-anak yang aktif online sering kali tanpa sadar menampilkan kerentanan mereka. Pelaku lalu mulai dengan obrolan ringan, menggali informasi pribadi, memberikan perhatian, hingga akhirnya memanipulasi anak secara emosional maupun seksual. Meski awalnya hanya melalui layar, kasus grooming online bisa berlanjut pada pertemuan langsung di dunia nyata, yang tentu berisiko lebih besar.
Tanda-Tanda Anak Menjadi Korban
Beberapa tanda anak mungkin sudah menjadi korban child grooming,
antara lain:
Selain itu, anak korban bisa mengalami dampak psikologis jangka panjang, seperti trauma, depresi, gangguan kecemasan, sulit percaya pada orang lain, hingga masalah dalam menjalin hubungan sehat ketika dewasa.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Peran orang tua sangat penting untuk mencegah anak terjerat child
grooming. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Selain orang tua, sekolah juga berperan dengan memberikan edukasi seksualitas yang sehat dan pemahaman tentang batasan tubuh (body boundaries). Pemerintah serta lembaga perlindungan anak terus memperketat regulasi, menindak pelaku, serta menyediakan layanan konseling dan rehabilitasi bagi korban. Di DIY telah tersedia layanan pelaporan dan konseling yang dapat diakses melalui hotline SAPA 129 (08111129129), UPT Balai PPA dan UPT PPA di setiap kab/kota, Puspaga (offline), dan Tesaga DIY (online melalui WA 087719292111 dan media sosial tesaga_diy yang dapat diakses 24 jam). Semua layanan yang tersedia tidak dipungut biaya dan terjamin kerahasiaannya.
Child grooming bukanlah kasih sayang, melainkan bentuk pelecehan yang bisa membahayakan masa depan anak. Dengan kesadaran orang tua, dukungan sekolah, serta perlindungan dari negara, anak-anak bisa lebih terlindungi dari jebakan predator.