Yogyakarta, DP3AP2 DIY (15/01/2025) - Apakah
kalian pernah memperhatikan bahwa harga dua produk yang ditujukan bagi
laki-laki dan perempuan memiliki harga yang berbeda? Apakah kalian
menyadari bahwa produk kebutuhan perempuan memilki harga yang lebih
mahal dari produk laki-laki? Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal kedua
barang tersebut memiliki fungsi yang sama? Apakah kalian merasa bahwa
perbedaan harga ini adil atau justru diskriminatif? Untuk mengenali
lebih jauh mengapa hal bisa terjadi, mari kita bahas mendalam terkait
fenomena ini dan apa dampaknya bagi kehidupan sehari-hari !
Dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari, laki-laki maupun perempuan membutuhkan
produk yang sama, seperti produk perawatan diri. Berbagai pilihan produk
telah tersedia dengan beragam dan disesuaikan dengan kebutuhan serta
keinginan masing-masing konsumennya. Akan tetapi, apabila kita
perhatikan, produk yang ditargetkan bagi perempuan memiliki harga produk
yang lebih mahal dibandingkan produk yang ditargetkan bagi laki-laki.
Fenomena perbedaan harga ini disebut Pink Tax. Pink Tax dapat dipahami
sebagai nilai tambahan yang harus dibayar perempuan dalam produk
kebutuhannya sehari-hari (Harris, 2023). Tambahan harga ini seringkali
tidak disadari masyarakat pada umumnya. Oleh karenanya, Pink Tax juga
sering disebut sebagai harga terselubung atau tersembunyi. Kerap kali,
sering kita jumpai sebuah produk perempuan yang memiliki manfaat yang
sama atau bahkan lebih rendah memiliki harga yang lebih tinggi dengan
produk yang disasarkan untuk para laki-laki. Sebutan Pink Tax merujuk
pada warna pink yang sering diasumsikan sebagai warna alamiah perempuan
atau warna feminitas (Harris, 2023). Sedangkan kata tax atau pajak itu
sendiri tidak merujuk pada hakikat kata sebenarnya secara harfiyah,
yaitu pajak yang diregulasikan oleh pemerintah. Akan tetapi, perbedaan
harga yang ditetapkan perusahaan untuk produk perempuan (Lavenia, 2022).
Banyak perusahaan yang mengklaim bahwa alasan dibalik perbedaan
harga yang ditetapkan adalah karena adanya perbedaan biaya produksi
untuk menambahkan warna atau desain khusus produk yang dipasarkan bagi
perempuan (Kim, 2024). Alasannya lainnya adalah disebabkan oleh adanya
perbedaan dalam komposisi, fungsi, dan efektivitas yang diselaraskan
dengan kebutuhan perempuan. Pada dasarnya, perbedaan harga tersebut
dinilai tidak logis karena kebutuhan sehari-hari sifatnya adalah
universal dan tidak semestikan melakukan diferensiasi harga produk
laki-laki dan perempuan. (Lavenia, 2022). Fenomena Pink Tax sendiri bisa
dipahami sebagai salah satu strategi pasar yang memanfaatkan tren
psikologis, perilaku belanja, dan minat untuk memaksimalkan keuntungan
perusahaan dengan menaikan harga yang lebih tinggi kepada konsumen
perempuan (Handayani, 2023). Fenomena Pink Tax merupakan salah satu
bentuk ketidaksetaraan gender melalui diskriminasi harga. Isu
ketidaksetaraan gender tidak hanya terjadi dalam lingkup sosial dan
moral, tetapi juga dalam lingkup ekonomi. Hal ini tentunya merugikan
konsumen perempuan secara finansial dan mencerminkan kesenjangan pasar
berbasis gender.
Produk Pink Tax dapat ditemukan di berbagai
produk seperti kosmetik, pakaian, perawatan tubuh, produk kesehatan,
peralatan rumah tangga maupun jasa. Fenomena Pink Tax di Indonesia
sendiri seringkali dijumpai pada produk-produk perawatan tubuh, seperti
pisau cukur dan sabun cuci muka. Salah satu fenomena Pink Tax yang
sempat viral di Indonesia adalah layanan jasa taxi online yang
menawarkan jasa antar khusus perempuan. Layanan ini ditujukan bagi
konsumen perempuan dengan menawarkan pelayanan jasa yang lebih aman dan
nyaman, seperti pengemudi yang tidak merokok, area duduk yang lebih
bersih, wangi, dan terstandarisasi pelayanan prima bersertifikat, serta
telah lulus pelatihan khusus tambahan yang lebih intensif terkait tata
krama dan etika (Sabrina, 2023). Kebijakan ini merupakan hal yang
progresif dalam meningkatkan keamanan dan kenyamanan perempuan dalam
menggunakan transportasi mengingat banyak perempuan yang seringkali
mengeluhkan ketidakamanan mereka dalam menggunakan layanan jasa taksi
online. Akan tetapi, biaya tambahan yang diberikan dalam menggunakan
pelayanan tersebutlah yang menjadi permasalahannya. Seolah dalam
mendapatkan hak keamanan dan kenyamanan untuk menggunakan layanan taksi
online, perempuan mesti membayar lebih akan hal itu dibanding laki-laki.
Sangat disayangkan seharusnya aspek di atas semestinya menjadi sebuah
hal yang mendasar dan standar bagi semua layanan jasa dan tidak
seharusnya dikomersialkan apalagi ditargetkan secara khusus bagi
konsumen perempuan (Yustisha, 2023). Terlebih harga yang diterapkan
lebih mahal dibandingkan layanan jasa plus lainnya.
Pink Tax
merupakan bentuk diskriminasi harga berdasarkan gender. Akan tetapi
diskriminasi harga tersebut tidak dilindungi oleh UU perlindungan
konsumen yang bertujuan untuk mencegah diskriminasi harga terhadap
kelompok tertentu. UU perlindungan konsumen yang ada hanya mencakup
perlindungan konsumen berdasarkan, agama, ras, suku, dan tingkat sosial
ekonomi di masyarakat, seperti UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen (Yustisha, 2023). Sedangkan perlindungan konsumen
berdasarkan gender belum sepenuhnya terlindungi dalam peraturan
pemerintah. Padahal perempuan sendiri merupakan kelompok yang rentan
dalam menghadapi financial barriers (Dian, 2023). Belum lagi, isu
mengenai rendahnya upah kerja perempuan yang berada di posisi yang sama
dengan laki-laki juga turut merugikan para perempuan. Pink Tax
mengharuskan para perempuan untuk membayar lebih mahal kebutuhan
sehari-harinya di tengah isu ketidaksetaraan hak perempuan dalam
mendapatkan gaji yang setimpal (Margareth Ratih. F, 2023).
Untuk
mengatasi dan menghindari fenomena Pink Tax ini, konsumen perempuan
dapat membeli produk yang bertampilan netral gender serta lebih bijak
dan peka untuk membandingkan harga-harga produk yang akan dibeli.
Perbedaan harga ini seringkali tidak disadari karena tidak terlihat
begitu signifikan. Seringkali penyimpanan kedua produk bagi laki-laki
dan perempuan juga kerap dipisahkan sehingga konsumen tidak menyadari
disparitas harga ini secara langsung. Setelah mengetahui fenomena
terkait pink tax dan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa
lebih bijak dalam membeli produk kebutuhan sehari-hari dan menanamkan
kesetaraan gender sekecil apapun dalam kehidupan. Fenomena pink tax
bukan hanya sekedar merefleksikan disparitas harga melainkan
diskriminasi gender yang harus kita cegah dan lawan bersama. Mari
bersama menciptakan lingkungan yang setara dan inklusif bagi semua orang
tanpa terkecuali di semua aspek kehidupan. Salam Setara! (Auliya H).
References
Dian,
R. (2023, October 30). Mengenal Pink Tax, Diskriminasi Gender Melalui
Harga Produk. Narasi Tv; Narasi TV.
https://narasi.tv/read/narasi-daily/mengenal-pink-tax
Handayani,
R. (2023, September 3). “Pink Tax”: Apa, Bagaimana, dan Dampak Terhadap
Kaum Hawa. PAJAK.COM.
https://www.pajak.com/pajak/pink-tax-apa-bagaimana-dan-dampak-terhadap-kaum-hawa/
Harris,
F. (2023). Pink Tax: Diskriminasi Harga untuk Perempuan Lebih lanjut
di: https://pajak.go.id/en/node/100610. Direktorat Jenderal Pajak.
https://pajak.go.id/en/node/100610
Kim.
(2024, August 8). The Pink Tax: The Cost of Being a Woman - National
Organization for Women. National Organization for Women -.
https://now.org/blog/the-pink-tax-the-cost-of-being-a-woman/
Lavenia,
A. (2022, November 4). Pink Tax: Bias Gender di Balik Mahalnya Produk
untuk Perempuan. Insight; cxomedia.
https://www.cxomedia.id/business-and-career/20221104180715-61-176933/pink-tax-bias-gender-di-balik-mahalnya-produk-untuk-perempuan
Sabrina,
S. (2023, May 9). Pink Tax: Praktik Diskriminasi Harga Produk
Berdasarkan Gender - Bincang Perempuan. Bincang Perempuan; BP.com.
https://bincangperempuan.com/pink-tax-praktik-diskriminasi-harga-produk-berdasarkan-gender/
Yustisha,
A. (2023). Diskriminasi Harga Berbasis Gender (Pink Tax): Pelanggaran
Undang-Undang Perlindungankonsumen. Unnes Law Review, 5(4).
https://doi.org/10.31933/unesrev.v5i4